*PT IPM dan Wilmar Terancam Mundur dari Landak
Ngabang, Equator
Polemik PT Indoresen Putra Mandiri (IPM) di Kabupaten Landak yang mendapat tututan dari masyarakat hanya gara-gara perusahaan sawit itu melakukan pematokan rencana HGU di tanah warga yang belum dibebaskan hingga harus membayar denda mencapai Rp.800 juta dan tuntutan lainnya. Kendati dianggap masalah kecil, tapi Pemerintah Daerah mesti harus dapat menyikapi bijaksana. Karena dampaknya kepada investor lain merasa ‘ngeri’ untuk berinvestasi di Negeri Intan ini. PT IPM saja satu Group dengan Wilmar mengaku bisa cabut dari Landak ini.
“Masalah ini pasti berdampak terhadap investor lain, karena tidak hanya ribut di Landak atau Kalbar, tapi sudah sampai di Jakarta juga mulai ribut. Masalah masyarakat menuntut dendat atau adat yang tidak jelas dasarnya. Kalau memang Rp.800 juta ini dibayar dan tidak ada kebijakan lagi dari pemerintah, bisa saja bukan IPM bahwa Wilmar bisa cabut dari Landak, karenaa bagaiman mungkin kita buang uang di dalam sungai,” ungkap D Uus Humas Wilmar International Plantation saat jumpa pers di Cafe Bogenvile, Senin (23/9).
Menurut Uus, begitu ia disapa, pihak perusahaan meminta kepada tiga pilar yakbi pemerintah, masyarakat dan investor agar bisa saling mengingatkan satu sana lainnya. Karena pihaknya tidak menginginkan ada sejenis premanisme adat ada di Kabupaten Landak. “Sebenarnya bukan masalah nilai uang adat yang kita persoalkan tapi yang wajar. Kita sudah menyerahkan Rp.40 juta lebih kepada masyarajat untuk biaya adat 6 tail tangah, karena kita dianggap melanggar adat karena pemasangan patok HGU dan pencabutan patok HGU secara simbolis yang disaksikan instansi terkait sudah kita lakukan,” ungkap Uus.
Sedangkan masalah denda sebesar Rp.800 juta ini yang menjadi pemikiran perusahaan karena sulit untuk menjelaskan adat apa kepada manajeman perusahaan. Karena pihaknya sudah minta penjelasan kepada Dewan Adat Dayak (DAD) baik Kabupaten Landak maupun Provinsi Kalbar mereka tidak berani menjawab. “Nah, ini yang belum jelas. Sekali lagi kita tidak melihat jumlah uangya, tapi kejelasan secara hukum,” ujar Uus.
Karena, persoalan lain muncul dari tiga desa yang menyenarahkan lahan yakni dari Desa Kersik Belantian, Nyanyung, Engkadu, Paku Raya mangaku jika Rp.800 juta dibayarkan, mereka akan menuntut juga, alasanya mereka yang menyerahkan lahan malah tidak dapat apa-apa dari perusahaan tapi yang tak menyerahkan diberikan kompensasi tuntutanya. “Ini kecumburuan sosial, jadi kita tidak mau terjadi pergesakan diantara masyarakat itu sendiri,” katanya.
Sementara Emmanuel Sugi BM Head Kalimantan Expert Bidang CD dan CSR Wilmar International Plantation juga mengatakan mestinya pihak pemerintah bisa mengkaji lebih lanjut masalah ini jika memang wajar, akan tetap dibayar uang Rp.800 juta dengan bentuk kompensasi bangunan 70 persen dan 30 persen uang tunai sesuai permintaan masyarakat. “Tapi sekali lagi bukan masalah uangnya, melainkan kewajaran apakah nilai adat itu wajar, bagaimana ada kejadian satu orang melakukan kesalahan yang sama, apakah warga bikin lahan di tanah lain, atau menebang kayu di tanah orang. Apakah tuntutan sama, kalau itu dilakukan perusahaan tetap membayar,” ungkap Emanuel.
Menurutnya, jika PT IPM dan Wilmar Group mundur dari Kabupaten Landak berinvestasi 5000 lebih karyawan terancam terlantar. Karena perusahaan yang dikatakan terbesar di Kabupaten Landak saja cabut, bagaimana dengan perusahaan lain. Karena jika tidak kasus-kasus seperti tuntutan masyarakat yang tak jelas akan terulang lagi. “Sekali lagi kita mengajak kepada Pemerintah agar bijak dalam menghadapi tuntutan masyarakat ini,” tukas Emanuel. (rie)
0 Response to 'Polemik PT IPM Pemkab Perlu Sikapi Bijak'
Posting Komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)